RSS

Sabtu, 22 Mei 2010

Ada apa dengan buah dan sayuran?

Wow, sedikit tercengang ketika membaca judul berita “Buah dan Sayur Memicu Gangguan Mental” di yahoo. Untuk memenuhi rasa penasaran, aku mulai membuka dan membaca berita tersebut. Ternyata, Berita yang dilansir oleh VIVAnews ini mengungkapkan hasil penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa paparan pestisida yang digunakan pada makanan anak-anak seperti stroberi segar, seledri bisa meningkatkan risiko Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada anak. Kutipan dari laman Modernmom.com, para ilmuwan di AS dan Kanada menemukan bahwa anak-anak dengan tingkat residu pestisida yang tinggi dalam urin mereka, rentan mengalami ADHD. Anak-anak dengan tingkat lebih tinggi dari rata-rata satu penanda pestisida memiliki risiko dua kali lipat terdiagnosis ADHD. Parahnya lagi, paparan pestisida kebanyakan berasal dari buah-buahan dan sayuran segar. Itulah mengapa sangat dianjurkan bagi para orang tua untuk membeli sayur dan buah-buahan yang organik. atau yang lebih aman lagi, mungkin kita harus menanamnya sendiri. Hehe..

Nah, kebetulan, dalam tugas Psikologi Anak dan Remaja Khusus, saya meneliti tentang anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Dalam kesempatan kali ini, saya akan mencoba sharing pengetahuan yang saya miliki seputar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). ADHD merupakan kondisi anak yang memperlihatkan simptom-simptom berupa gangguan pemusatan perhatian (inattentive), hiperaktif, dan impulsif yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka. Gangguan pemusatan perhatian, hiperaktif, dan impulsivitas itu dapat menyebabkan mereka mengalami kesulitan belajar, kesulitan berprestasi, serta menyebabkan adanya permasalahan menjalin hubungan dalam tingkat yang luas.

Beberapa ciri perilaku anak yang mungkin mengalami ADD/ADHD adalah mereka sangat banyak bicara, banyak gerak, impulsif, kurangnya sistem rem (sistem inhibisi), dan melakukan sesuatu yang bisa diinterpretasi sebagai perilaku yang mengganggu, kadang diikuti juga dengan agresivitas.

Sekarang ini, semakin banyak saja anak yang didiagnosis dengan ADHD. Hal ini ditengarai karena semakin banyaknya kesalahan diagnosis yang menegakkan bahwa seorang anak mengalami ADHD atau tidak. Informasi ini pernah saya baca dalam buku Julia Maria VanTiel yang berjudul “Anakku Terlambat Bicara”. Kesalahan diangnosis bukanlah hal sepele, hal ini dapat menentukan kehidupan anak selanjutnya. Anak dapat merasa minder dan memiliki harga diri rendah karena dicap sebagai anak ADHD. Sebenarnya, ada beberapa hal yang membedakan tingkat perilaku hiperaktif normal dengan gangguan yang dapat didiagnosis.

Untuk menegakkan diagnosis ADHD, psikolog mengacu pada kriteria-kriteria yang ada dalam DSM IV. Kriteria yang tertulis dalam DSM IV mengidentifikasi 14 simtom behavioral yang termasuk kesulitan fisiologis, kognitif, dan emosional. Simtom atau gejala terjadi sebelum usia 7 tahun, muncul lebih sering dan dengan derajat keparahan yang lebih besar daripada anak sebaya lainnya, muncul pada beberapa setting dan tidak hanya pada satu lokasi (contoh: sekolah dan rumah), disabilitas yang parah dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan, dan tidak terdapat karakteristik gangguan lain seperti skizofernia, gangguan anxietas, dan gangguan mood. (Diambil dari Manual Diagnostik dan Statistika mengenai Gangguan-Gangguan Mental menurut Asosiasi Psikiater Amerika, tahun 1994).

Bila perilaku tersebut bersifat ekstrem dalam perkembangan periode tertentu, kemudian terjadi dalam berbagai situasi yang berbeda dan berhubungan dengan disabilitas parah dalam fungsi, diagnosis ADD/ADHD dapat ditegakkan (NIH Consensus Statement, 1998). Diagnosis ADD/ADHD tidak tepat untuk anak-anak yang hanya sekedar ribut, aktif, atau agak mudah teralih perhatiannya di kelas, karena di tahun awal sekolah anak-anak sering berperilaku demikian (Whalen, 1983). ADD/ADHD ditegakkan hanya pada kasus yang benar-benar ekstrem dan terus-menerus. Maka dari itu, dalam menegakkan diagnosis apakah anak mengalami ADHD atau tidak, sudah seharusnya dilakukan secara terpadu oleh profesional, dibantu oleh guru dan orangtua si anak untuk menghindari adanya kesalahan diagnosis.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright MEJIKUHIBILIU 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .